Sejarah Dan Perkembangan Konstitusi Di Indonesia
SEJARAH KONSTITUSI
Sebenarnya. konstitusi (constitution) berbeda dengan
Undang-Undang Dasar (Grundgezets), dikarenakan suatu kekhilafan
dalam pandangan orang mengenai konstitusi pada negara-negara modern sehingga
pengertian konstitusi itu kemudian disamakan dengan Undang-Undang Dasar.
Kekhilafan ini disebabkan oleh pengaruh faham kodifikasi yang menghendaki agar
semua peraturan hukum ditulis, demi mencapai kesatuan hukum, kesederhanaan
hukum dan kepastian hukum. Begitu besar pengaruh faham kodifikasi, sehingga
setiap peraturan hukum karena penting itu harus ditulis, dan konstitusi yang
ditulis itu adalah Undang-Undang Dasar.
Secara umum terdapat dua macam konstitusi yaitu :
1) Konstitusi tertulis dan
2) Konstitusi tak tertulis.
Hampir semua negara di dunia memiliki konstitusi tertulis atau
Undang-Undang Dasar (UUD) yang pada umumnya mengatur mengenai pembentukan,
pembagian wewenang dan cara bekerja berbagai lembaga kenegaraan serta
perlindungan hak azasi manusia.
Negara yang dikategorikan sebagai negara yang tidak memiliki konstitusi
tertulis adalah Inggris dan Kanada. Di kedua negara ini, aturan dasar terhadap
semua lembaga-lembaga kenegaraan dan semua hak asasi manusia terdapat pada adat
kebiasaan dan juga tersebar di berbagai dokumen, baik dokumen yang relatif baru
maupun yang sudah sangat tua seperti Magna Charta yang berasal dari tahun 1215
yang memuat jaminan hak-hak azasi manusia rakyat Inggris. Karena ketentuan
mengenai kenegaraan itu tersebar dalam berbagai dokumen atau hanya hidup dalam
adat kebiasaan masyarakat itulah maka Inggris masuk dalam kategori negara yang
memiliki konstitusi tidak tertulis.
Pada hampir semua konstitusi tertulis diatur mengenai pembagian kekuasaan
berdasarkan jenis-jenis kekuasaan, dan kemudian berdasarkan jenis kekuasaan itu
dibentuklah lembaga-lembaga negara. Dengan demikian, jenis kekuasaan itu perlu
ditentukan terlebih dahulu, baru kemudian dibentuk lembaga negara yang
bertanggung jawab untuk melaksanakan jenis kekuasaan tertentu itu.
Beberapa sarjana mengemukakan pandangannya mengenai jenis tugas atau
kewenangan itu, salah satu yang paling terkemuka adalah pandangan
Montesquieu bahwa kekuasaan negara itu terbagi dalam tiga jenis kekuasaan yang
harus dipisahkan secara ketat. Ketiga jenis kekuasaan itu adalah :
- Kekuasaan
membuat peraturan perundangan (legislatif)
- Kekuasaan
melaksanakan peraturan perundangan (eksekutif)
- Kekuasaan
kehakiman (yudikatif).
Pandangan lain mengenai jenis kekuasaan yang perlu dibagi atau dipisahkan
di dalam konstitusi dikemukakan oleh van Vollenhoven dalam buku karangannyaStaatsrecht
over Zee. Ia membagi kekuasaan menjadi empat macam yaitu :
- Pemerintahan
(bestuur)
- Perundang-undangan
- Kepolisian
- Pengadilan.
Van Vollenhoven menilai kekuasaan eksekutif itu terlalu luas dan karenanya
perlu dipecah menjadi dua jenis kekuasaan lagi yaitu kekuasaan pemerintahan dan
kekuasaan kepolisian. Menurutnya kepolisian memegang jenis kekuasaan untuk
mengawasi hal berlakunya hukum dan kalau perlu memaksa untuk melaksanakan
hukum.
Wirjono Prodjodikoro dalam bukunya Azas-azas Hukum Tata Negara di Indonesia
mendukung gagasan Van Vollenhoven ini, bahkan ia mengusulkan untuk menambah dua
lagi jenis kekuasaan negara yaitu kekuasaan Kejaksaan dan Kekuasaan Pemeriksa Keuangan
untuk memeriksa keuangan negara serta menjadi jenis kekuasaan ke-lima dan
ke-enam.
Berdasarkan teori hukum ketatanegaraan yang dijelaskan diatas maka dapat
disimpulkan bahwa jenis kekuasaan negara yang diatur dalam suatu konstitusi itu
umumnya terbagi atas enam dan masing-masing kekuasaan itu diurus oleh suatu
badan atau lembaga tersendiri yaitu:
- Kekuasaan
membuat undang-undang (legislatif)
- Kekuasaan
melaksanakan undang-undang (eksekutif)
- Kekuasaan
kehakiman (yudikatif)
- Kekuasaan
kepolisian
- Kekuasaan
kejaksaan
- Kekuasaan
memeriksa keuangan negara
Konstitusi suatu negara pada hakekatnya
merupakan hukum dasar tertinggi yang memuat hal-hal mengenai penyelenggaraan
negara, karenanya suatu konstitusi harus memiliki sifat yang lebih stabil dari
pada produk hukum lainnya. Terlebih lagi jika jiwa dan semangat pelaksanaan
penyelenggaraan negara juga diatur dalam konstitusi sehingga perubahan suatu
konstitusi dapat membawa perubahan yang besar terhadap sistem penyelenggaraan
negara. Bisa jadi suatu negara yang demokratis berubah menjadi otoriter
karena terjadi perubahan dalam konstitusinya.
Adakalanya keinginan rakyat untuk mengadakan perubahan konstitusi merupakan
suatu hal yang tidak dapat dihindari. Hal ini terjadi apabila mekanisme
penyelenggaraan negara yang diatur dalam konstitusi yang berlaku dirasakan
sudah tidak sesuai lagi dengan aspirasi rakyat. Oleh karena itu,
konstitusi biasanya juga mengandung ketentuan mengenai perubahan konstitusi itu
sendiri, yang kemudian prosedurnya dibuat sedemikian rupa sehingga perubahan
yang terjadi adalah benar-benar aspirasi rakyat dan bukan berdasarkan keinginan
semena-mena dan bersifat sementara atau pun keinginan dari sekelompok orang
belaka.
Pada dasarnya ada dua macam sistem yang lazim digunakan dalam praktek
ketatanegaraan di dunia dalam hal perubahan konstitusi. Sistem yang pertama
adalah bahwa apabila suatu konstitusi diubah, maka yang akan berlaku adalah
konstitusi yang berlaku secara keseluruhan (penggantian konstitusi). Sistem ini
dianut oleh hampir semua negara di dunia. Sistem yang kedua ialah bahwa apabila
suatu konstitusi diubah, maka konstitusi yang asli tetap berlaku. Perubahan
terhadap konstitusi tersebut merupakan amandemen dari konstitusi yang asli
tadi. Dengan perkataan lain, amandemen tersebut merupakan atau menjadi bagian
dari konstitusinya. Sistem ini dianut oleh Amerika Serikat.
PERKEMBANGAN KONSTITUSI DI
INDONESIA
Para pendiri Negara Kesatuan Republik Indonesia telah sepakat utntuk
menyusun sebuah Undang-Undang Dasar sebagai konstitusi tertulis dengan segala
arti dan fungsinya. Sehari setelah proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia
pada 17 Agustus 1945, konstitusi Indonesia sebagai sesuatu ”revolusi
grondwet” telah disahkan pada 18 Agustus 1945 oleh panitia persiapan
kemerdekaan Indonesia dalam sebuah naskah yang dinamakan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia. Dengan demikian, sekalipun Undang-Undang Dasar 1945
itu merupakan konstitusi yang sangat singkat dan hanya memuat 37 pasal namun
ketiga materi muatan konstitusi yang harus ada menurut ketentuan umum teori
konstitusi telah terpenuhi dalam Undang-Undang Dasar 1945 tersebut.
Pada dasarnya kemungkinan untuk mengadakan perubahan atau penyesuaian itu
memang sudah dilihat oleh para penyusun UUD 1945 itu sendiri, dengan merumuskan
dan melalui pasal 37 UUD 1945 tentang perubahan Undang-Undang Dasar. Dan
apabila MPR bermaksud akan mengubah UUD melalui pasal 37 UUD 1945 , sebelumnya
hal itu harus ditanyakan lebih dahulu kepada seluruh Rakyat Indonesia melalui
suatu referendum.(Tap no.1/ MPR/1983 pasal 105-109 jo. Tap no.IV/MPR/1983
tentang referendum)
Perubahan UUD 1945 kemudian dilakukan secara bertahap dan menjadi salah
satu agenda sidang Tahunan MPR dari tahun 1999 hingga perubahan ke empat
pada sidang tahunan MPR tahun 2002 bersamaan dengan kesepakatan dibentuknya
komisi konstitusi yang bertugas melakukan pengkajian secara komperhensif
tentang perubahan UUD 1945 berdasarkan ketetapan MPR No. I/MPR/2002 tentang
pembentukan komisi Konstitusi.
Dalam sejarah perkembangan ketatanegaraan Indonesia ada empat macam
Undang-Undang yang pernah berlaku, yaitu :
- Periode 18
Agustus 1945 – 27 Desember 1949
(Penetapan Undang-Undang Dasar 1945)
Saat Republik Indonesia diproklamasikan pada tanggal 17 Agustus 1945,
Republik yang baru ini belum mempunyai undang-undang dasar. Sehari kemudian
pada tanggal 18 Agustus 1945 Rancangan Undang-Undang disahkan oleh PPKI sebagai
Undang-Undang Dasar Republik Indonesia setelah mengalami beberapa proses.
- Periode 27
Desember 1949 – 17 Agustus 1950
(Penetapan konstitusi Republik Indonesia Serikat)
Perjalanan negara baru Republik Indonesia ternyata tidak luput dari
rongrongan pihak Belanda yang menginginkan untuk kembali berkuasa di Indonesia.
Akibatnya Belanda mencoba untuk mendirikan negara-negara seperti negara Sumatera
Timur, negara Indonesia Timur, negara Jawa Timur, dan sebagainya. Sejalan
dengan usaha Belanda tersebut maka terjadilah agresi Belanda 1 pada tahun 1947
dan agresi 2 pada tahun 1948. Dan ini mengakibatkan diadakannya KMB yang
melahirkan negara Republik Indonesia Serikat. Sehingga UUD yang seharusnya
berlaku untuk seluruh negara Indonesia itu, hanya berlaku untuk negara Republik
Indonesia Serikat saja.
- Periode 17
Agustus 1950 – 5 Juli 1959
(Penetapan Undang-Undang Dasar Sementara 1950)
Periode federal dari Undang-undang Dasar Republik Indonesia Serikat 1949
merupakan perubahan sementara, karena sesungguhnya bangsa Indonesia sejak 17
Agustus 1945 menghendaki sifat kesatuan, maka negara Republik Indonesia Serikat
tidak bertahan lama karena terjadinya penggabungan dengan Republik Indonesia.
Hal ini mengakibatkan wibawa dari pemerintah Republik Indonesia Serikat menjadi
berkurang, akhirnya dicapailah kata sepakat untuk mendirikan kembali Negara
Kesatuan Republik Indonesia. Bagi negara kesatuan yang akan didirikan jelas
perlu adanya suatu undang-undang dasar yang baru dan untuk itu dibentuklah
suatu panitia bersama yang menyusun suatu rancangan undang-undang dasar yang
kemudian disahkan pada tanggal 12 Agustus 1950 oleh badan pekerja komite nasional
pusat dan oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan senat Republik Indonesia Serikat
pada tanggal 14 Agustus 1950 dan berlakulah undang-undang dasar baru itu pada
tanggal 17 Agustus 1950.
- Periode 5
Juli 1959 – sekarang
(Penetapan berlakunya kembali Undang-Undang Dasar 1945)
Dengan dekrit Presiden 5 Juli 1959 berlakulah kembali Undang-Undang Dasar
1945. Dan perubahan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara Orde Lama pada
masa 1959-1965 menjadi Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara Orde Baru.
Perubahan itu dilakukan karena Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara Orde
Lama dianggap kurang mencerminkan pelaksanaan Undang-Undang Dasar 1945 secara
murni dan konsekuen.
PERUBAHAN UUD 1945
Salah satu keberhasilan yang dicapai oleh bangsa Indonesia pada masa reformasi adalah reformasi konstitusional (constitutional reform). Reformasi konstitusi dipandang merupakan kebutuhan dan agenda yang harus dilakukan karena UUD 1945 sebelum perubahan dinilai tidak cukup untuk mengatur dan mengarahkan penyelenggaraan negara sesuai harapan rakyat, terbentuknya good governance, serta mendukung penegakan demokrasi dan hak asasi manusia.
Perubahan UUD 1945 dilakukan secara bertahap dan menjadi salah satu agenda
Sidang MPR dari 1999 hingga 2002 . Perubahan pertama dilakukan dalam Sidang
Umum MPR Tahun 1999. Arah perubahan pertama UUD 1945 adalah membatasi kekuasaan
Presiden dan memperkuat kedudukan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sebagai lembaga
legislatif.
Perubahan kedua dilakukan dalam sidang Tahunan MPR Tahun 2000. Perubahan kedua menghasilkan rumusan perubahan pasal-pasal yang meliputi masalah wilayah negara dan pembagian pemerintahan daerah, menyempumakan perubahan pertama dalam hal memperkuat kedudukan DPR, dan ketentuan¬-ketentuan terperinci tentang HAM.
Perubahan ketiga ditetapkan pada Sidang Tahunan MPR 2001. Perubahan tahap
ini mengubah dan atau menambah ketentuan-ketentuan pasal tentang asas-asas
landasan bemegara, kelembagaan negara dan hubungan antarlembaga negara, serta
ketentuan-ketentuan tentang Pemilihan Umum. Sedangkan perubahan keempat
dilakukan dalam Sidang Tahunan MPR Tahun 2002. Perubahan Keempat tersebut
meliputi ketentuan tentang kelembagaan negara dan hubungan antarlembaga negara,
penghapusan Dewan Pertimbangan Agung (DPA), pendidikan dan kebudayaan,
perekonomian dan kesejahteraan sosial, dan aturan peralihan serta aturan
tambahan.
Empat tahap perubahan UUD 1945 tersebut meliputi hampir keseluruhan materi
UUD 1945. Naskah asli UUD 1945 berisi 71 butir ketentuan, sedangkan perubahan
yang dilakukan menghasilkan 199 butir ketentuan. Saat ini, dari 199 butir
ketentuan yang ada dalam UUD 1945, hanya 25 (12%) butir ketentuan yang tidak
mengalami perubahan. Selebihnya, sebanyak 174 (88%) butir ketentuan merupakan
materi yang baru atau telah mengalami perubahan.
Dari sisi kualitatif, perubahan UUD 1945 bersifat sangat mendasar karena
mengubah prinsip kedaulatan rakyat yang semula dilaksanakan sepenuhnya oleh MPR
menjadi dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar. Hal itu menyebabkan semua
lembaga negara dalam UUD 1945 berkedudukan sederajat dan melaksanakan
kedaulatan rakyat dalam lingkup wewenangnya masing-masing. Perubahan lain
adalah dari kekuasaan Presiden yang sangat besar (concentration of power and
responsibility upon the President) menjadi prinsip saling mengawasi dan mengimbangi
(checks and balances). Prinsip-prinsip tersebut menegaskan cita negara yang
hendak dibangun, yaitu negara hukum yang demokratis.
Setelah berhasil melakukan perubahan konstitusional, tahapan selanjutnya
yang harus dilakukan adalah pelaksanaan UUD 1945 yang telah diubah tersebut.
Pelaksanaan UUD 1945 harus dilakukan mulai dari konsolidasi norma hukum hingga
dalam praktik kehidupan berbangsa dan bernegara. Sebagai hukum dasar, UUD 1945
harus menjadi acuan dasar sehingga benar-benar hidup dan berkembang dalam
penyelenggaraan negara dan kehidupan warga negara (the living
constitution).
Konstitusi Sebagai Piranti Kehidupan Negara Yang Demokratis
Sebagaimana dijelaskan diawal, bahwa konstitusi berpesan sebagai sebuah
aturan dasar yang mengatur kehidupan dalam bernegara dan berbangsa maka
aepatutnya konstitusi dibuat atas dasar kesepakatan bersama antara negra dan
warga Negara . Kontitusi merupakan bagian dan terciptanya kehidupan yang
demokratis bagi seluruh warga Negara. Jika Negara yang memilih demokrasi, maka
konstitusi demokratis merupakan aturan yang dapat menjamin terwujudnya
demokrasi dinegara tersebut. Setiap konstitusi yang digolongkan sebagai
konstitusi demokratis haruslah memiliki prinsip-prinsip dasar demokrasi itu
sendiri.
LEMBAGA NEGARA PASCA AMANDEMEN
Sebagai kelembagaan Negara, MPR RI tidak lagi diberikan sebutan sebagai
lembaga tertinggi Negara dan hanya sebagai lembaga Negara, seperti juga,
seperti juga DPR, Presiden, BPK dan MA. Dalam pasal 1 ayat (2) yang telah
mengalami perubahan perihal kedaulatan disebutkan bahwa kedaulatan berada
ditangan rakyat dan dilaksanakan menurut undang-undang dasar sehingga tampaklah
bahwa MPR RI tidak lagi menjadi pelaku/pelaksana kedaulatan rakyat. Juga
susunan MPR RI telah berubah keanggotaanya, yaitu terdiri atas anggota DPR dan
Dewan Perakilan Daerah (DPD), yang kesemuanya direkrut melalui pemilu.
Perlu dijelaskan pula bahwa susunan ketatanegaraan dalam kelembagaan Negara juga mengalami perubahan, dengan pemisahan kekuasaan, antara lain adanya lembaga Negara yang dihapus maupun lahir baru, yaitu sebagai Badan legislative terdiri dari anggota MPR, DPR, DPD, Badan Eksekutif Presiden dan wakil Presiden, sedang badan yudikatif terdiri atas kekuasaan kehakiman yaitu mahkamah konstitusi (MK) sebagai lembaga baru, Mahkamah Agung (MA), dan Komisi Yudisial (KY) juga lembaga baru. Lembaga Negara lama yang dihapus adalah dewan Pertimbangan Agung (DPA), dan Badan pemeriksa keuangan tetap ada hanya diatur tersendiri diluar kesemuanya/dan sejajar.
Tugas dan kewenagan MPR RI sesudah perubahan, menurut pasal 3 UUD 1945 ( perubahan Ketiga ).
a. Majelis Permusyawaran Rakyat berwenang mengubah dan menetapkan UUD
b. Majelis Permusyawaran Rakyat melantik Presiden dan/atau Wakil Presiden.
c. Majelis Permusyawaran Rakyat hanya dapat memberhentikan presiden dan/atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya menurut undang-undang dasar ( impeachment ).
Undang-Undang Dasar merupakan hukum tertinggi dimana kedaulatan berada di tangan rakyat dan dijalankan sepenuhnya menurut UUD. UUD memberikan pembagian kekuasaan (separation of power) kepada 6 Lembaga Negara dengan kedudukan yang sama dan sejajar, yaitu Presiden, Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Daerah (DPD), Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Mahkamah Agung (MA), dan Mahkamah Konstitusi (MK).
Perubahan (Amandemen) UUD 1945:
* Mempertegas prinsip negara berdasarkan atas hukum [Pasal 1 ayat (3)] dengan menempatkan kekuasaan kehakiman sebagai kekuasaan yang merdeka, penghormatan kepada hak asasi manusia serta kekuasaan yang dijalankan atas prinsip due process of law.
* Mengatur mekanisme pengangkatan dan pemberhentian para pejabat negara, seperti Hakim.
* Sistem konstitusional berdasarkan perimbangan kekuasaan (check and balances) yaitu setiap kekuasaan dibatasi oleh Undang-undang berdasarkan fungsi masing-masing.
* Setiap lembaga negara sejajar kedudukannya di bawah UUD 1945.
* Menata kembali lembaga-lembaga negara yang ada serta membentuk beberapa lembaga negara baru agar sesuai dengan sistem konstitusional dan prinsip negara berdasarkan hukum.
* Penyempurnaan pada sisi kedudukan dan kewenangan maing-masing lembaga negara disesuaikan dengan perkembangan negara demokrasi modern.
Tugas Lembaga Tinggi Negara sesudah amandemen ke – 4 :
A. MPR
· Lembaga tinggi negara sejajar kedudukannya dengan lembaga tinggi negara lainnya seperti Presiden, DPR, DPD, MA, MK, BPK.
· Menghilangkan supremasi kewenangannya.
· Menghilangkan kewenangannya menetapkan GBHN.
· Menghilangkan kewenangannya mengangkat Presiden (karena presiden dipilih secara langsung melalui pemilu).
· Tetap berwenang menetapkan dan mengubah UUD.
· Susunan keanggotaanya berubah, yaitu terdiri dari anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan angota Dewan Perwakilan Daerah yang dipilih secara langsung melalui pemilu.
B. DPR
· Posisi dan kewenangannya diperkuat.
· Mempunyai kekuasan membentuk UU (sebelumnya ada di tangan presiden, sedangkan DPR hanya memberikan persetujuan saja) sementara pemerintah berhak mengajukan RUU.
· Proses dan mekanisme membentuk UU antara DPR dan Pemerintah.
· Mempertegas fungsi DPR, yaitu: fungsi legislasi, fungsi anggaran, dan fungsi pengawasan sebagai mekanisme kontrol antar lembaga negara.
C. DPD
· Lembaga negara baru sebagai langkah akomodasi bagi keterwakilan kepentingan daerah dalam badan perwakilan tingkat nasional setelah ditiadakannya utusan daerah dan utusan golongan yang diangkat sebagai anggota MPR.
· Keberadaanya dimaksudkan untuk memperkuat kesatuan Negara Republik Indonesia.
· Dipilih secara langsung oleh masyarakat di daerah melalui pemilu.
· Mempunyai kewenangan mengajukan dan ikut membahas RUU yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, RUU lain yang berkait dengan kepentingan daerah.
D. BPK
· Anggota BPK dipilih DPR dengan memperhatikan pertimbangan DPD.
· Berwenang mengawasi dan memeriksa pengelolaan keuangan negara (APBN) dan daerah (APBD) serta menyampaikan hasil pemeriksaan kepada DPR dan DPD dan ditindaklanjuti oleh aparat penegak hukum.
· Berkedudukan di ibukota negara dan memiliki perwakilan di setiap provinsi.
· Mengintegrasi peran BPKP sebagai instansi pengawas internal departemen yang bersangkutan ke dalam BPK.
E. PRESIDEN
· Membatasi beberapa kekuasaan presiden dengan memperbaiki tata cara pemilihan dan pemberhentian presiden dalam masa jabatannya serta memperkuat sistem pemerintahan presidensial.
· Kekuasaan legislatif sepenuhnya diserahkan kepada DPR.
· Membatasi masa jabatan presiden maksimum menjadi dua periode saja.
· Kewenangan pengangkatan duta dan menerima duta harus memperhatikan pertimbangan DPR.
· Kewenangan pemberian grasi, amnesti dan abolisi harus memperhatikan pertimbangan DPR.
· Memperbaiki syarat dan mekanisme pengangkatan calon presiden dan wakil presiden menjadi dipilih secara langsung oleh rakyat melui pemilu, juga mengenai pemberhentian jabatan presiden dalam masa jabatannya.
F. MAHKAMAH AGUNG
· Lembaga negara yang melakukan kekuasaan kehakiman, yaitu kekuasaan yang menyelenggarakan peradilan untuk menegakkan hukum dan keadilan [Pasal 24 ayat (1)].
· Berwenang mengadili pada tingkat kasasi, menguji peaturan perundang-undangan di bawah Undang-undang dan wewenang lain yang diberikan Undang-undang.
· Di bawahnya terdapat badan-badan peradilan dalam lingkungan Peradilan Umum, lingkungan Peradilan Agama, lingkungan Peradilan militer dan lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN).
· Badan-badan lain yang yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman diatur dalam Undang-undang seperti : Kejaksaan, Kepolisian, Advokat/Pengacara dan lain-lain.
G. MAHKAMAH KONSTITUSI
· Keberadaanya dimaksudkan sebagai penjaga kemurnian konstitusi (the guardian of the constitution).
· Mempunyai kewenangan: Menguji UU terhadap UUD, Memutus sengketa kewenangan antar lembaga negara, memutus pembubaran partai politik, memutus sengketa hasil pemilu dan memberikan putusan atas pendapat DPR mengenai dugaan pelanggaran oleh presiden dan atau wakil presiden menurut UUD.
· Hakim Konstitusi terdiri dari 9 orang yang diajukan masing-masing oleh Mahkamah Agung, DPR dan pemerintah dan ditetapkan oleh Presiden, sehingga mencerminkan perwakilan dari 3 cabang kekuasaan negara yaitu yudikatif, legislatif, dan eksekutif.
H. KOMISI YUDISIAL
· Tugasnya mencalonkan Hakim Agung dan melakukan pengawasan moralitas dan kode etik para Hakim.
Perlu dijelaskan pula bahwa susunan ketatanegaraan dalam kelembagaan Negara juga mengalami perubahan, dengan pemisahan kekuasaan, antara lain adanya lembaga Negara yang dihapus maupun lahir baru, yaitu sebagai Badan legislative terdiri dari anggota MPR, DPR, DPD, Badan Eksekutif Presiden dan wakil Presiden, sedang badan yudikatif terdiri atas kekuasaan kehakiman yaitu mahkamah konstitusi (MK) sebagai lembaga baru, Mahkamah Agung (MA), dan Komisi Yudisial (KY) juga lembaga baru. Lembaga Negara lama yang dihapus adalah dewan Pertimbangan Agung (DPA), dan Badan pemeriksa keuangan tetap ada hanya diatur tersendiri diluar kesemuanya/dan sejajar.
Tugas dan kewenagan MPR RI sesudah perubahan, menurut pasal 3 UUD 1945 ( perubahan Ketiga ).
a. Majelis Permusyawaran Rakyat berwenang mengubah dan menetapkan UUD
b. Majelis Permusyawaran Rakyat melantik Presiden dan/atau Wakil Presiden.
c. Majelis Permusyawaran Rakyat hanya dapat memberhentikan presiden dan/atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya menurut undang-undang dasar ( impeachment ).
Undang-Undang Dasar merupakan hukum tertinggi dimana kedaulatan berada di tangan rakyat dan dijalankan sepenuhnya menurut UUD. UUD memberikan pembagian kekuasaan (separation of power) kepada 6 Lembaga Negara dengan kedudukan yang sama dan sejajar, yaitu Presiden, Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Daerah (DPD), Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Mahkamah Agung (MA), dan Mahkamah Konstitusi (MK).
Perubahan (Amandemen) UUD 1945:
* Mempertegas prinsip negara berdasarkan atas hukum [Pasal 1 ayat (3)] dengan menempatkan kekuasaan kehakiman sebagai kekuasaan yang merdeka, penghormatan kepada hak asasi manusia serta kekuasaan yang dijalankan atas prinsip due process of law.
* Mengatur mekanisme pengangkatan dan pemberhentian para pejabat negara, seperti Hakim.
* Sistem konstitusional berdasarkan perimbangan kekuasaan (check and balances) yaitu setiap kekuasaan dibatasi oleh Undang-undang berdasarkan fungsi masing-masing.
* Setiap lembaga negara sejajar kedudukannya di bawah UUD 1945.
* Menata kembali lembaga-lembaga negara yang ada serta membentuk beberapa lembaga negara baru agar sesuai dengan sistem konstitusional dan prinsip negara berdasarkan hukum.
* Penyempurnaan pada sisi kedudukan dan kewenangan maing-masing lembaga negara disesuaikan dengan perkembangan negara demokrasi modern.
Tugas Lembaga Tinggi Negara sesudah amandemen ke – 4 :
A. MPR
· Lembaga tinggi negara sejajar kedudukannya dengan lembaga tinggi negara lainnya seperti Presiden, DPR, DPD, MA, MK, BPK.
· Menghilangkan supremasi kewenangannya.
· Menghilangkan kewenangannya menetapkan GBHN.
· Menghilangkan kewenangannya mengangkat Presiden (karena presiden dipilih secara langsung melalui pemilu).
· Tetap berwenang menetapkan dan mengubah UUD.
· Susunan keanggotaanya berubah, yaitu terdiri dari anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan angota Dewan Perwakilan Daerah yang dipilih secara langsung melalui pemilu.
B. DPR
· Posisi dan kewenangannya diperkuat.
· Mempunyai kekuasan membentuk UU (sebelumnya ada di tangan presiden, sedangkan DPR hanya memberikan persetujuan saja) sementara pemerintah berhak mengajukan RUU.
· Proses dan mekanisme membentuk UU antara DPR dan Pemerintah.
· Mempertegas fungsi DPR, yaitu: fungsi legislasi, fungsi anggaran, dan fungsi pengawasan sebagai mekanisme kontrol antar lembaga negara.
C. DPD
· Lembaga negara baru sebagai langkah akomodasi bagi keterwakilan kepentingan daerah dalam badan perwakilan tingkat nasional setelah ditiadakannya utusan daerah dan utusan golongan yang diangkat sebagai anggota MPR.
· Keberadaanya dimaksudkan untuk memperkuat kesatuan Negara Republik Indonesia.
· Dipilih secara langsung oleh masyarakat di daerah melalui pemilu.
· Mempunyai kewenangan mengajukan dan ikut membahas RUU yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, RUU lain yang berkait dengan kepentingan daerah.
D. BPK
· Anggota BPK dipilih DPR dengan memperhatikan pertimbangan DPD.
· Berwenang mengawasi dan memeriksa pengelolaan keuangan negara (APBN) dan daerah (APBD) serta menyampaikan hasil pemeriksaan kepada DPR dan DPD dan ditindaklanjuti oleh aparat penegak hukum.
· Berkedudukan di ibukota negara dan memiliki perwakilan di setiap provinsi.
· Mengintegrasi peran BPKP sebagai instansi pengawas internal departemen yang bersangkutan ke dalam BPK.
E. PRESIDEN
· Membatasi beberapa kekuasaan presiden dengan memperbaiki tata cara pemilihan dan pemberhentian presiden dalam masa jabatannya serta memperkuat sistem pemerintahan presidensial.
· Kekuasaan legislatif sepenuhnya diserahkan kepada DPR.
· Membatasi masa jabatan presiden maksimum menjadi dua periode saja.
· Kewenangan pengangkatan duta dan menerima duta harus memperhatikan pertimbangan DPR.
· Kewenangan pemberian grasi, amnesti dan abolisi harus memperhatikan pertimbangan DPR.
· Memperbaiki syarat dan mekanisme pengangkatan calon presiden dan wakil presiden menjadi dipilih secara langsung oleh rakyat melui pemilu, juga mengenai pemberhentian jabatan presiden dalam masa jabatannya.
F. MAHKAMAH AGUNG
· Lembaga negara yang melakukan kekuasaan kehakiman, yaitu kekuasaan yang menyelenggarakan peradilan untuk menegakkan hukum dan keadilan [Pasal 24 ayat (1)].
· Berwenang mengadili pada tingkat kasasi, menguji peaturan perundang-undangan di bawah Undang-undang dan wewenang lain yang diberikan Undang-undang.
· Di bawahnya terdapat badan-badan peradilan dalam lingkungan Peradilan Umum, lingkungan Peradilan Agama, lingkungan Peradilan militer dan lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN).
· Badan-badan lain yang yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman diatur dalam Undang-undang seperti : Kejaksaan, Kepolisian, Advokat/Pengacara dan lain-lain.
G. MAHKAMAH KONSTITUSI
· Keberadaanya dimaksudkan sebagai penjaga kemurnian konstitusi (the guardian of the constitution).
· Mempunyai kewenangan: Menguji UU terhadap UUD, Memutus sengketa kewenangan antar lembaga negara, memutus pembubaran partai politik, memutus sengketa hasil pemilu dan memberikan putusan atas pendapat DPR mengenai dugaan pelanggaran oleh presiden dan atau wakil presiden menurut UUD.
· Hakim Konstitusi terdiri dari 9 orang yang diajukan masing-masing oleh Mahkamah Agung, DPR dan pemerintah dan ditetapkan oleh Presiden, sehingga mencerminkan perwakilan dari 3 cabang kekuasaan negara yaitu yudikatif, legislatif, dan eksekutif.
H. KOMISI YUDISIAL
· Tugasnya mencalonkan Hakim Agung dan melakukan pengawasan moralitas dan kode etik para Hakim.
TATA URUTAN PERUNDANG-UNDANGAN
menurut Undang Undang No. 10 tahun 2004
jenis dan tata urutan/susunan (hirarki) peraturan
perundang-undangan sekarang adalah sebagai berikut :
- UUD-RI
tahun 1945
- Undang-undang
(UU)/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perpu);
- Peraturan
Pemerintah (PP);
- Peraturan
Presiden (Perpres) dan Peraturan lembaga negara atau organ/badan negara
yang dianggap sederajat dengan Presiden antara lain : Peraturan Kepala
BPK, Peraturan Bank Indonesia, Peraturan Komisi Pemilihan Umum (KPU),
Peraturan Mahkamah Agung, Peraturan Mahkamah Konstitusi, Peraturan Komisi
Yudisial,
- Peraturan
Daerah Propinsi;
- Peraturan
Daerah Kabupaten/Kota;
- Peraturan
Desa (Perdesa).
0 komentar:
Posting Komentar